Perspektif / Sosial

Aku Ingin Menulis Saja

Kredit foto: Antara Foto

Kredit foto: Antara Foto

Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” [1]

Pram memang sastarawan yang sudah dikenal khayalak. Namanya mengudara. Wajar berbagai kata dan kutipannya menyebar di sanubari. Ide dalam setiap catatannya selalu menghadirkan perubahan. Bukan perubahan biasa, lebih dari sebuah revolusi diri. Pram memang benar, hampir saja saya hilang dari sejarah.

Menunggu Pagi. Saya dan beberapa kawan menunggu pelatihan menulis di sebuah rumah di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Saya hanya orang baru. Saya baru diberitahu bahwa setiap Senin malam, ada pelatihan menulis. Ada tiga orang, termasuk saya di meja berbentuk segi empat pada waktu itu. Beberapa cangkir berisi kopi, sebungkus kretek filter, korek dan asbak ada di atasnya. Kawan saya sedang asyik menghisap kretek. Kawan saya yang satu lagi hanya senyum sendiri di depan laptopnya. Saya ingin melihat ada apa di laptopnya, namun dia sudah pindah terlebih dahulu ke dalam kamar.

Terasa Panas. Saya meminum kopi dengan perlahan. Satu atau dua teguk sudah bisa merasa syukur atas hidup ini. Sunyi tiba-tiba buyar, kawan saya melemparkan tanya,

“Ji, lu udah kerja dimana sekarang?”

“Belum kerja kantoran, masih pengangguran aja, coy.”

Pertanyaan semacam ini adalah hantu bagi setiap orang yang baru lulus kuliah. Sudah lumrah, lulus kuliah lalu mencari kerja. Saya tidak tahu bagaimana dengan orang yang bekerja sambil kuliah. Atau seseorang yang mengorbankan kuliahnya hanya untuk bekerja. Lantas kalau kuliah sambil bekerja hanya untuk lulus kuliah dan bekerja lagi, apa guna berkuliah?

Ini sebabnya saya menekankan kata “kerja kantoran”. Bekerja untuk kantor.

Berdamai dengan Kenyataan
Nyatanya setiap orang memang harus bekerja. Mengejar profesi impian pun mencapai karir gemilang, alih-alih bertahan hidup. Tiba-tiba sukma saya kembali pada beberapa bulan yang lalu.

Wisuda, sebuah acara sakral melepas status mahasiswa. Saya lemah untuk mendeskripsikan hiruk-pikuk suasananya. Yang saya ingat, hanya mengingat Wisuda kali ini langsung diberi Ijazah. Beda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Beberapa hari sesudahnya, kawan-kawan mengajak untuk ikut bursa tenaga kerja. Saya menurut saja. Kegiatan ini memang membantu orang-orang yang ingin mencari pekerjaan. Hanya membayar biaya registrasi, membawa daftar riwayat hidup dan memilih perusahaan-perusahaan yang terdaftar di setiap bilik yang berderet tertib.

Dunia ini terlalu luas. Saya bukan siapa-siapa. Usaha mencari kerja mengharuskan saya ikut bersaing dengan jutaan orang pencari kerja lainnya. Terkadang mendapat panggilan tes tertulis dari sebuah perusahaan. Kalau lulus, berlanjut ke sesi wawancara. Saya sudah sampai di tahap ini, tapi jarang melaju sampai tahap penandatangan kontrak kerja. Saya selalu gagal dalam sesi wawancara.

Akhirnya saya belum bekerja kantoran, berbeda dengan beberapa kawan. Kawan yang saya kenal baik sudah bekerja dalam beberapa profesi. Guru, pekerja media, pegawai bank, staf di kementrian atau di organisasi nirlaba. Bahkan sudah ada yang menjadi enterpreneur muda.

Kesuksesan kawan-kawan ternyata mengasah semangat saya. Kegagalan bertubi-tubi sebelumnya saya lupakan. Tetapi adakala keberuntungan belum datang disaat saya sudah siap.

Ceritanya pada waktu itu saya dipanggil untuk datang di perusahaan pembiayaan kredit mobil. Bersama beberapa orang yang beruntung, saya menjalani psikotes. Saya dinyatakan lulus.

Esok hari, bersama satu orang lainnya wajib datang untuk menjalani sesi wawancara. Saya pun bertegur sapa dengan orang yang saya anggap kawan untuk datang bersama-sama.

Membantu orang lain. Prinsip tersebut saya gunakan bila teringat waktu saya sedang susah membutuhkan bantuan. Kawan baru saya pun meminta bantuan,

“Zi, saya minta alamat untuk interview user besok, saya lupa alamatnya dimana.” – sebuah pesan singkat yang saya diterima melalui telepon genggam.

“Iya, alamat nya Jalan Boulevard Gading Serpong, Ruko Ilago Bolsena, No.65. Datang jam 09.00 Pagi.” – saya membalas pesan tersebut.

Waktu di telepon genggam menunjukkan pukul 08.45 WIB. Saya datang ternyata lebih awal. Kantor perusahaan tersebut berada di ujung deretan ruko. Saya mau melangkah masuk ke dalam. Tiba-tiba kawan baru mengabari sebuah pesan, “Zi, saya telat, tolong tunggui saya.”

“Oke.” – saya hanya menjawab singkat.

Akhirnya saya hanya duduk saja di luar kantor. Sampai pukul 09.30 WIB, kawan baru saya akhirnya tiba. Berbincang ringan selama sepuluh menit, sebelum masuk ke dalam kantor, saya mengingatkan kawan akan etika wawancara. Sambil menunggunya, saya hanya tersenyum.

“Jaketmu dilepas kalau mau wawancara, kalau tidak memakai gesper, upaya kan duduk mendekat sampai rapat dengan meja agar tidak terlihat,” tegur saya sopan.

“Oke bos!” sahut kawan baru saya.

Dua minggu kemudian, kawan baru saya memberi kabar bahwa dia dipanggil untuk datang menandatangani kontrak kerja. Saya hanya mengucapkan selamat. Kawan baru saya pun terlihat senang. Kawan baru mengira saya diberi kabar yang sama. Saya hanya mengucap “belum beruntung” meski ada tanya dalam benak diri. Apakah saya sudah berdamai dengan kenyataan?

Kenyataan Tidak Selalu Damai
Mungkin saja saya adalah orang yang tidak beruntung, sekarang. Belum bekerja kantoran selama beberapa bulan. Ternyata saya salah. Ada banyak orang yang mengalami nasib yang sama.

Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri mengatakan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2014, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 7,24 juta orang.[2] Apakah saya termasuk di dalam data tersebut?

Jumlah pencari kerja setiap tahun meningkat. Hal ini bertautan dengan situasi ekonomi tidak menentu. Kebutuhan hidup semakin mahal. Angka kemiskinan merangkak naik. Nurani menjerit. Pemerintah tutup mata dan tutup telinga. Kepada siapa lagi saya melemparkan tanya?

Saya merasa menambah beban negara. Saya juga tidak mau menyalahkan negara. Bisa saja saya yang tidak mau berusaha. Kenyataan memang tidak selalu bisa untuk diajak berdamai.

Pena yang Bercerita
Masih menunggu. Sukma saya kembali pulang. Kawan saya serius menyimak. Dia menawarkan saya untuk membuat satu tulisan mengenai pengalaman saya mencari pekerjaan. Jelas saya menolak. Nanti semua orang tahu saya belum bekerja kantoran.

Kawan saya berpaling pada telepon genggam miliknya. Sibuk dengan media sosial sepertinya. Saya berlalu. Mencari pulpen dalam sebuah tas. Hanya persiapan bila kelas menulis dimulai.

Malam sepertinya akan berakhir. Yang mengajari kami belum juga datang. Saya sangat berharap bisa ikut kelas pelatihan menulis.

Akhirnya, saya tahu, hari ini tidak jadi diadakan kelas penulisan menulis. Yang mengajari kami mungkin datang saat fajar mulai merona di ufuk timur.

Saya masih memainkan pulpen, bersiap mencoret. Tetapi saya lupa mengambil kertas. Saya mencoba melihat sekitar, apakah ada kertas yang tidak terpakai. Setelah menemukan kertas yang terjatuh di bawah meja. Saya mencoba mencoretnya. Ah sial, pulpen saya tidak nyata.

Mungkin saja kertas itu belum tercoret sama sekali. Kawan saya pun tidak peduli dengan apa yang saya lakukan. Padahal saya hanya ingin memberitahu. Bekerja atau tidak, saat ini aku ingin menulis saja.

[1] Kalimat ini saya kutip dari akun twitter @PramQuotes

[2] Sumber berita http://nasional.kontan.co.id/news/jumlah-pengangguran-terbuka-indonesia-724-juta diakses pukul 18.30 WIB.


Rozi Hariansyah
Alumni Ilmu Politik IISIP Jakarta

2 thoughts on “Aku Ingin Menulis Saja

Leave a reply to bingung menulis Cancel reply